Bahkan Ridwan Djamaluddin menyebut bahwa sampai akhir Agustus 2022, realisasi penerimaan negara dari batu bara sudah mencapai Rp91,47 triliun atau lebih dari dua kali lipat target tahun ini sebesar Rp42,36 triliun.
Pada forum Presidensi G20 di Indonesia lalu, pemerintah Indonesia memperkenalkan kepada dunia skenario Grand Strategy Energi Nasional (GSEN) dengan tujuan menjamin ketersediaan energi yang cukup, kualitas yang baik, harga terjangkau dan ramah lingkungan dalam kurun waktu 2020-2040. Di samping itu, Indonesia juga turut berpartisipasi aktif dalam agenda Net Zero Emission (NZE) sebagaimana yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Dalam program pengembangan dan pemanfaatan batubara, pertimbangan mengenai komitmen Indonesia dalam pencapaian Net Zero Emission menjadi salah satu aspek yang melandasi prioritas program pengembangan dan pemanfaatan batubara pada kurun 2021-2025.
Di salah satu pernyataan Ridwan Djamaluddin pada rubrik Zona Bisnis Metro TV, ia juga menyebut bahwa karena kontribusi batu bara bagi perekonomian nasional secara keseluruhan cukup signifikan, pemerintah Indonesia berharap tidak serta-merta menghentikan penggunaan batubara sebagai salah satu penopang ketahanan energi nasional.
Pada tahun 2050 nanti—mengacu kembali pada kajian Outlook Energi Indonesia dari dari DEN—ekspor batubara akan menjadi 44 MTOE (BaU), 55,8 MTOE (PB), 67,6 MTOE (RK) atau turun dari 170,3 MTOE pada tahun 2018. Proyeksi perbandingan ekspor terhadap produksi batubara juga mengalami penurunan dari 64% pada tahun 2018 menjadi 18% (BaU), 23% (PB), 28% (RK) pada tahun 2050.
Melonjaknya penyediaan EBT pada skenario RK di tahun 2050 dipengaruhi oleh program pencampuran biodiesel yang sudah mencapai 100% dan bioetanol 85%.
Editor : Lusius Genik NVL
Artikel Terkait