Umar pun berkata, “Aku hendak melaksanakan shalat.” Uskup Agung (Yerusalem Sophronius) pun menawarkan kepadanya untuk menunaikan shalat di Gereja ini, namun tawaran tersebut ditolak agar tak muncul anggapan bahwa gereja tersebut milik Muslim sehingga kelak bisa menimbulkan klaim sepihak.
Karen Amstrong dalam buku “Jerusalem: One City, Three Faiths” (2011:228) mengakui betapa besarnya toleransi Umar kepada pemeluk agama lain. Penulis terkenal Inggris ini mencatat: “He presided over the most peaceful and bloodless conquest that the city had yet seen in its long and often tragic history ("Dia memimpin penaklukan paling damai dan tak berdarah yang pernah disaksikan kota itu dalam sejarahnya yang panjang dan seringkali tragis,")
Tak hanya itu, saat orang Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan, perusakan harta benda, pembakaran simbol agama, pengusiran, ataupun penjarahan. Bahkan tidak ada upaya paksa untuk memeluk agama Islam.
Era Shalahuddin Al-Ayyubi
Tak berbeda dengan Umar bin Khattab r.a. sosok Shalahuddin Al-Ayyubi (w. 1193) ini juga tidak perlu diragukan dalam menjamin kehidupan beragama umat lain. Dalam catatan sejarah, di bawah pemerintahan beliau, rakyat hidup aman dan sejahtera. Menariknya, rombongan Kristen dibolehkan berkunjung ke Baitul Maqdis dan semakin hari jumlahnya makin banyak.
Ketika Richard (penjaga Baitul Maqdis, Nasrani-red) khawatir Shalahuddin marah, akhirnya ia memintanya untuk melarang peziarah yang tidak mendapat izin resmi atau rekomendasi dari Richard. Lalu Apa jawaban Shaladuddin? Pahlawan muslim agung kelahiran Tikrit ini menjawab dalam suratnya, “Mereka sudah datang jauh-jauh untuk berziarah ke tempat suci ini. Jadi tidak mungkin bagiku untuk menghalang-halangi mereka.” (Qasim A. Ibrahim, 2014 : 622)
Selain itu, yang tidak kalah menarik, Muhammad Ash-Shayim dalam buku “Shalahuddin Al-Ayyubi Sang Pejuang Islam” (2006:51, 52) juga mencatat dengan baik bagaimana toleransi Shalahuddin kepada agama lain. Jauh berbeda perilaku yan diperlihatkan saat pasukan Salib memasuki Baitul Maqdis 1099 M penuh pembantaian, namun Shalahuddin memberi kebebasan dan jaminan keamanan dan sama sekali tidak menyimpan dendam. Beliau menunjukkan simpati, bersikap lemah lembut dan memberi kebebasan kepada pemeluk Nasrani untuk menjalankan ibadah, membebaskan panglima perang Salib dan memberikan waktu 40 hari untuk pergi dari sana.
Editor : Hilman Hilmansyah
Artikel Terkait