“Disini Faisal Basri tidak memahami ketentuan tax holiday di Indonesia sehingga mencapai kesimpulan yang salah. Tax holiday 20 tahun diberikan dengan investasi sebesar 30 triliun atau lebih. Jika kurang dari itu maka akan menyesuaikan periodenya, antara 5-15 tahun. Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar,” tegas Seto.
Seto turut memaparkan tren peningkatan pendapatan perpajakan dari sektor hilirisasi nikel dari tahun 2016-2022 dengan mencocokkan data KBLI perusahaan-perusahaan yang memperoleh tax holiday.
Menurutnya, penerimaan perpajakan dari KBLI alami tren peningkatan yang signifikan. Penerimaan perpajakan tahun 2022 dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp 17,96 triliun atau naik sebesar 10.8 kali lipat dibandingkan tahun 2016 yang hanya sebesar Rp 1,66 triliun.
Sementara pendapatan PPh Badan di sektor ini pada 2022 sebesar Rp 7.36 triliun atau naik 21.6 kali lipat dibandingkan tahun 2016 yang hanya sebesar Rp. 0.34 triliun.
“Analisis yang disampaikan Faisal Basri dalam menyanggah statement Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan ini juga salah. Dari data di atas, telah terjadi peningkatan pajak yang cukup signifikan dari sektor hilirisasi ini,” tutur Seto.
“Perlu dicatat pula bahwa penerimaan perpajakan dari sektor hilirisasi nikel ini, belum memasukkan pendapatan pajak dari sektor lain yang ikut tumbuh akibat hilirisasi nikel ini seperti pelabuhan, steel rolling, jasa konstruksi, industri makanan dan minuman dan akomodasi,” sambungnya.
Seto juga menyanggah tudingan Faisal yang menyebut 90 persen keuntungan hilirisasi nikel hanya dinikmati China. Faisal berargumen bahwa Indonesia hanya memproses bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel yang 99 persen hasilnya akan diekspor ke China.
Sangat sederhana bagi Seto untuk membuktikan bahwa pola pikir Faisal ini salah. Seharusnya Faisal menghitung seberapa besar sumber daya yang dikeluarkan tiap smelter dalam memproduksi feronikel. Sumber daya untuk produksi nikel ini meliputi tenaga kerja, tekonologi, listrik dan bahan baku lainnya.
Berdasarkan analisis Seto, dari 100% nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40 persen, 12 persen laba operasi yang bisa dinikmati investor dan 48 persen adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut.
Editor : Ifan Jafar Siddik