JAKARTA, iNewsBogor.id - Pakar Hukum Pidana Universitas Pamulang, Dr. Dadang Sumarna, menilai vonis bebas yang diterima oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai cerminan bahwa keadilan masih tetap relevan di atas kepastian hukum, terutama dalam konteks kebebasan menyampaikan pendapat atau melakukan kritik.
"Vonis ini mencerminkan bahwa keadilan masih menjadi landasan utama di tengah dinamika kepastian hukum yang berkembang,” kata Dadang dalam keterangan tertulis, Rabu (10/1/2024).
Dadang lantas menyoroti kelemahan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam mengawasi aktivitas masyarakat di media sosial.
Hal ini dilihat dari keterbatasan YouTube dalam mendeteksi konten yang dianggap merendahkan, yang disebabkan oleh muatan yang disensor di luar jangkauan Lembaga Sensor.
"Situasi ini seharusnya menjadi perhatian serius, terutama bagi instansi terkait, khususnya Kominfo,” kata Doktor Hukum Pidana Universitas Islam Bandung ini.
Meninjau putusan dalam kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan, Dadang menekankan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia masih memiliki standar harga yang tinggi. "’Pidana dalam kosakata’, hal ini harus menjadi catatan bagi pembentuk undang-undang karena undang-undang tidak merinci secara jelas kalimat-kalimat mana yang dapat dikatakan sebagai delik yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum," kata Dadang.
"Perlu dipertimbangkan bahwa kalimat yang diucapkan tidak langsung menjadi kalimat yang dilarang, tetapi memerlukan interpretasi dari ahli bahasa untuk menilai apakah kalimat tersebut melanggar hukum atau tidak, mencegah terjadinya kriminalisasi,” imbuhnya.
Mengenai implikasi putusan bebas Haris dan Fatia, Dadang menegaskan vonis ini seharusnya menjadi acuan penting bagi aparat penegak hukum dalam menyusun standar perbaikan, menerima laporan, dan menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Terlepas dari delik aduan, kata Dadang, penegak hukum harus mempertimbangkan aspek linguistik dan budaya, serta memperhatikan konteks saat seseorang mengeluarkan pernyataan untuk mencegah pemborosan penggunaan hukum pidana.
“Walaupun deliknya merupakan delik aduan, tetapi penegak hukum harus melihat dari sisi linguistik dan budaya serta perlu memperhatikan kondisi seseorang pada saat mengatakan kalimat yang di ucapkanya apakah bentuknya guyonan, parodi, roasting, atau kritik yang tidak disukai seseorang yang dilaporkan langsung diproses sehingga mencederai tujuan dari hukum pidana sebagai ultimum remedium,” papar Dadang.
Dalam menyikapi tugas penegak hukum, khususnya Kepolisian dan Kejaksaan, Dadang mengingatkan kehati-hatian yang diperlukan dalam penyelidikan dan penyidikan. Proses pembuktian dalam penetapan tersangka menurut dia harus dilakukan tanpa melanggar hak asasi dan menghindari praktik kriminalisasi.
"Vonis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi pembelajaran bahwa hukum tidak hanya tentang kepastian, melainkan juga kemanfaatan dan arah keadilan yang mendalam,” katanya
Alumni Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta ini menegaskan pentingnya pembuktian yang sempurna untuk menyempurnakan proses administrasi pidana, sambil mempertanyakan tujuan kasasi kejaksaan.
“Tetapi, apa yang hendak di cari dalam upaya hukum tersebut? Keadilan kah? atau reputasi karena dakwaan dan tuntutan di bebaskan hakim? bukan kah sekecil apapun kejahatan apabila tidak dapat dibuktikan maka tidak akan terbukti?,” kata Dadang.
Vonis Bebas Haris-Fatia
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur sebelumnya memutuskan untuk membebaskan aktivis hak asasi manusia dan demokrasi, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dari tuduhan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam pembacaan putusan, majelis hakim menyimpulkan bahwa rekaman video yang diunggah di akun YouTube milik Haris tidak mengandung elemen pencemaran nama baik.
Putusan ini mendapatkan apresiasi dari kuasa hukum Haris dan Fatia, yang melihatnya sebagai langkah positif dalam melindungi kebebasan berbicara dan berpendapat.
Pembacaan putusan dilakukan secara bergantian oleh Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana dan dua hakim anggota, Muhammad Djohar Arifin, dan Agam Syarief Baharudin, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
“Menyatakan bahwa terdakwa Haris Azhar tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum dalam dakwaan pertama, kedua primer, dakwaan kedua subsider, dan dakwaan ketiga. Membebaskan terdakwa Haris Azhar dari segala dakwaan,” ujar Hakim Ketua Cokorda Gede Arthana, Senin (8/1/2024).
Editor : Furqon Munawar