Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, menjelaskan kecilnya minat generasi muda terhadap rumah vertikal itu disebabkan harga rumah jenis ini dua kali lebih mahal dari rumah tapak, meski berstatus Kredit Perumahan Rakyat (KPR) bersubsidi.
“Ketika rumahnya jadi rumah vertikal harganya jadi Rp400 juta. Naik dua kali lipat. Cicilannya logikanya naik dua kali lipat juga dong? Menjadi sekitar Rp2,5 sampai Rp3 juta….Yang tadinya bisa nyicil jadi enggak bisa,” kata Herry kepada iNewsBogor di kantornya, Jumat (2/2/2024).
Faktor utama yang menghambat minat generasi muda terhadap rumah vertikal di perkotaan adalah kendala finansial. Untuk mengatasinya, diperlukan penyesuaian strategi dan kebijakan pembiayaan guna meningkatkan daya beli masyarakat terhadap jenis hunian ini.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna. (Foto: iNews/Komarudin-Kementerian PUPR).
Pemerintah sebenarnya sudah mengambil langkah terhadap masalah tersebut. Salah satunya dengan mengkaji usulan skema KPR dengan jangka waktu hingga 35 tahun. Memperpanjang masa cicilan tentu akan memperkecil biaya yang harus dikeluarkan per bulannya. Milenial dan Gen Z akan mudah membeli rumah. Dengan begitu, disparitas kebutuhan perumahan di Indonesia akan terus teratasi.
“Bagaimana membuat produk yang tejangkau? Jadi kita kasih ke milenial, Anda bisa beli nih apartemen, tenornya 35 (tahun), rate-nya sekian, dihitung, oke gaji saya mampu, sebab sepertiga (cicilannya dari penghasilan yang dimiliki). Dengan cara itu berani dia menandatangani kontrak (akad), dan diterima juga oleh banknya,” jelas Herry.
Menurut Herry, skema tujuan ini diadopsi dari program perumahan di Jepang yang dilakukan bersama lembaga swasta. KPR 35 tahun ini bertujuan memperluas kesempatan bagi masyarakat agar dapat memiliki hunian yang nyaman, layak, dan terjangkau.
Editor : Furqon Munawar