Zayyen juga menyoroti kasus di Desa Gunung Putri, Kabupaten Bogor, di mana ratusan warga menggelar aksi unjuk rasa karena tanah mereka terancam diambil alih oleh perusahaan tambang. Sengketa lahan ini sudah berlangsung hampir 40 tahun, dengan perusahaan mengklaim 40 hektare sebagai milik mereka, sementara warga setempat sudah mendiami tanah tersebut secara turun temurun.
"Yang lebih parah lagi, Kepala Desa Gunung Putri, Damanhuri, menyatakan ada lima perusahaan yang mengklaim 40 hektare itu. Ini sangat aneh dan ajaib," kata Zayyen.
Dalam investigasinya, Zayyen menemukan fakta bahwa sertifikat tanah pengganti diterbitkan di Desa Bojong Koneng, Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Lahan yang dicaplok merupakan milik Pemerintah Desa Bojong Koneng, yang menguasai 34,1 hektare tanah sejak tahun 1960.
Pada tahun 2007, Bupati Bogor menerbitkan surat persetujuan tukar-menukar tanah kas desa dengan tanah milik PT. Citra Kharisma Komunika di Desa Selawangi, Tanjungsari. Namun, tanah kas desa tersebut diperjualbelikan oleh pihak yang mengaku ahli waris Haji Abu Burhanudin kepada Drs. Moch Arifin pada tahun 2011.
Pada 13 Juni 2024, Pemerintah Desa Bojong Koneng menandatangani akta Perjanjian Pelepasan tanah ahli waris seluas 34,1 hektare. Zayyen mengungkapkan bahwa enam sertifikat pengganti diterbitkan, namun ahli waris tidak pernah menerima fisiknya.
"Penerbitan sertifikat memerlukan proses yang melibatkan pemohon, para pemilik tanah yang bersebelahan, Pamong Desa, dan instansi terkait. Hal ini membuka peluang untuk pemalsuan, kadaluwarsa, bahkan informasi fiktif sehingga sertifikat cacat hukum," tambah Zayyen.
Editor : Ifan Jafar Siddik
Artikel Terkait