Karena itu, SBY mesti bersikap realistis atas apa yang tengah dihadapi partainya saat ini. Perang klaim keabsahan demokrat menjadi sinyal bahwa Jokowi bisa saja berpihak pada 'pengambilalihan' Demokrat. Karena, hemat saya, tidak ada alasan bagi Hakim untuk tidak mengabulkan gugatan Moeldoko mengambil alih demokrat.
Untuk itu, penting sebenarnya bagi SBY bersikap realistis: membangun kompromi dengan Jokowi. Sebab, saat ini yang terpenting justru bukan membangun koalisi Anies melainkan mempertahankan kepemilikan di partai Demokrat itu sendiri. SBY tahu hal tersebut tidak bisa dilakukan secara bersamaan melainkan harus dipilih secara parsial terlebih dahulu.Caranya, bisa jadi memilih bersama dengan koalisi Jokowi untuk melawan hegemoni Mega dan PDIP.
Bukankah jauh lebih menguntungkan bagi SBY jika beriringan dengan penguasa saat ini dan potensial ikut berkuasa dalam pemerintahan ke depan. Hemat saya, SBY pasti akan mengambil quote bijak yang sering didengar: “Musuh dari Musuhmu adalah Temanmu,”.
Karena itu, jika Demokrat keluar dari Koalisi Anies maka secara realistis mereka akan memilih bergabung dengan Koalisi Prabowo karena hanya koalisi ini yang secara terbuka akan berhadap-hadapan dengan Koalisi PDIP. Meskipun hampir dapat dipastikan, Surya Paloh dan Nasdem juga akan melakukan akrobatik politik pada waktu-waktu terakhir (Injury Time). Misalnya bergabung dengan Golkar dan PKS yang akan membentuk koalisi baru demi mendapatkan efek ekor jas atau coattail effect: Anies-Airlangga atau Airlangga-Sandi.
Direktur Eksekutif Trust Indonesia, Azhari Ardinal. (Foto : Istimewa)
Akhirnya, Pilpres 2024 memang masih menjadi milik para Begawan Politik. Tapi Pilpres ini bisa menjadi arah pendulum politik baru dan tentu poros politik baru di luar PDIP. Dan, SBY dapat menjadi kunci terakhir untuk melakukan akrobat politik melawan hegemoni Mega.
Editor : Furqon Munawar